Aku
panik. Mendapati cerpen-cerpenku yang dipigura di dinding kamar, basah.
Setelah aku lihat lebih dekat satu persatu, ternyata ditumbuhi lumut.
Lumut-lumut
tumbuh di alas pigura yang terbuat dari kertas karton. Menjalar sampai
ke koran yang memuat cerpenku. Akibatnya, sebagian tulisan yang ada di
situ menjadi kabur.
Awalnya
aku melihat kertas koran yang berada dalam bingkai itu basah di bagian
bawah, kemudian lambat lain menjalar ke atas. Aku menyangka itu karena
temboknya basah sehingga airnya merembes ke bingkai yang berjumlah tiga
buah. Namun beberapa bulan kemudian, aku melihatnya semakin pudar.
Aku
mengambil semua bingkai yang terpajang di dinding kamarku. Aku
bermaksud membersihkannya agar cerpen-cerpen karyaku yang termuat di
koran tidak rusak. Aku semakin panik karena bingkai yang berbahan kayu
menjadi rapuh karena ikut ditumbuhi lumut. Aku harus memperbaikinya.
Mengambil paku dan palu. Memaku bingkai-bingkai yang rapuh. Membersihkan
lumut-lumut yang menempel. Mengganti kertas karton yang rusak dengan
yang baru.
Istriku membantuku memasang kembali bingkai yang sudah kuperbaiki dan kubersihkan.
“Jangan ditaruh di sini lagi, Mas. Nanti ditumbuhi lumut lagi!”
“Baiknya di pasang di mana ya? di ruang tamu pantas atau tidak? Atau di dapur saja ya?”
“Di mana-mana pantas saja, Mas.”
“Tapi dipasang di kamarku lagi saja. Pada tembok kamar di sisi yang lain.”
Aku
mengambil paku dan memukulnya dengan palu di bagian tembok kamarku.
Satu, dua tiga pigura terpajang. Aku tersenyum puas. Memandangi
cerpen-cerpen karyaku yang terpajang di dinding kamar. Meski ada bagian
yang kurang jelas, tapi secara umum masih terlihat bagus.
“Itu kopinya diminum dulu. Nanti dingin, Mas!”
“Oh
ya, lupa.” Aku mengambil segelas kopi yang sejak tadi mengepulkan asap
di meja dapur. Aku kembali ke kamarku memandangi cerpen-cerpen karyaku
sambil menyeruput kopi buatan istriku. Nikmat sekali rasanya.
***
Beberapa
bulan kemudian, aku kembali panik. Bingkai-bingkai yang kini berjumlah
delapan buah, semuanya ditumbuhi lumut. Kini seluruh permukaan kertas
koran ditumbuhi lumut. Seperti menyerang setiap huruf yang membentuk
kata, setiap kata yang membentuk kalimat, setiap kalimat yang membentuk
paragraf, dan setiap paragraf yang membangun keseluruhan cerpen. Seperti
ulat-ulat yang menggerogoti daun-daun. Bingkai itu seperti digunakan
untuk lumut-lumut. Permukaan bingkai menjadi seperti lapangan sepak bola
yang berwarna hijau. Aku mencoba mengangkat bingkai-bingkai itu satu
persatu, dan bruggg…!!!. Setiap bingkai yang kusentuh ambrol. Hancur
sudah semua koleksi karya-karyaku.
Aku meraung, memanggil-manggil istriku.
“Ada apa, Mas?”
“Itu lihat sendiri.”
“Wah, kok bisa lumut-lumut itu menyerang lagi ya, Mas? Padahal sudah kita bersihkan beberapa bulan yang lalu.”
Aku terkulai lemas di tepi kasur. Istriku memegangiku, dan memijati pundakku.
“Sudahlah,
Mas. Lumut-lumut itu mungkin tidak bersahabat dengan cerpen-cerpen yang
Mas buat. Lebih baik disembunyikan saja di dalam map dan disimpan di
lemari.”
Meski
istriku telah memijat pundakku dan menghiburku agar tidak bersedih,
namun aku tetap saja lunglai. Aku menerawang ke beberapa tahun yang
lalu.
Aku
terobsesi menjadi seorang cerpenis. Aku banyak membaca cerpen-cerpen
yang dimuat di koran dan media lainnya. Aku banyak mengirim cerpen,
namun tidak satupun cerpenku yang dimuat.
Aku terus saja berlatih menulis cerpen, diselingi membaca cerpen dan tips-tips menulis cerpen. Namun tetap saja kata G A G A L selalu melekat di setiap karya yang kukirim ke koran dan media lainnya.
Aku
nyaris putus asa. Hingga secara kebetulan aku menemukan formula menulis
cerpen. Aku mengutak-utik cerpen karya orang lain. Aku ganti nama
tokohnya. Aku aduk baris-baris kalimatnya, yang atas jadi bawah, yang
bawah jadi atas. Aku kurangi dan aku tambahi. Aku senang mengutak-atik
cerpen karya orang lain. Dari hasil utak-atik itu, aku coba kirimkan ke
koran, dan dimuat. Utak-atik lagi, dimuat lagi. Demikian seterusnya.
Cerpen yang dimuat di koran aku bingkai dan kupajang di dinding kamar
sampai berjumlah delapan bingkai. Ada yang dimuat di koran lokal, koran
regional, sampai koran nasional. Aku sangat puas, dan merasa telah
menjadi seorang cerpenis.
“Mas, dipijit kok malah tidur!”
Aku tergeragap dan melihat istriku meninggalkan kamarku dengan sedikit menggerundel.
***
Sejak
kejadian itu, aku berjanji dalam hati untuk membuat cerpen dengan
formula lain. Siang malam aku mencari formula baru menulis cerpen.
Jerih
payahku berbuah hasil. Aku menemukan formula baru lagi menulis cerpen,
yakni menulis cerpen bening. Sebening air. Menulis sesuai kemampuan
diri. Cerita yang dipunyai berasal dari kejadian sehari-hari, dan
ditulis dengan kemampuan sendiri.
Aku
kembali memigura cerpen-cerpen baru buatanku. Tiga buah bingkai
terpajang di dinding kamarku yang khusus untuk menulis cerpen.
Suatu
malam ketika aku sedang tidur di kamar lain, aku mendengar ada suara
anak bermain-main bersuka ria dengan kecipak air yang sangat jelas
terdengar. Aku bangun, membiarkan istriku tetap tertidur. Aku mencari
sumber suara yang aku dengar. Aku menuju sebuah kamar di mana terpajang
cerpen-cerpen karyaku.
Aku
terperanjat. Aku melihat bingkai-bingkai itu menjadi seperti layar
televisi. Ada gambar bergerak, ada suara terdengar sangat jernih. Salah
satu bingkai memperlihatkan beberapa anak sedang mandi di tepi sungai
pada cerpen “Buaya” karyaku. Dan airnya menyiprat ke tubuhku.