Minggu, 30 Juni 2013

Cerpen_Cerpen Usang

Aku panik. Mendapati cerpen-cerpenku yang dipigura di dinding kamar, basah. Setelah aku lihat lebih dekat satu persatu, ternyata ditumbuhi lumut.
Lumut-lumut tumbuh di alas pigura yang terbuat dari kertas karton. Menjalar sampai ke koran yang memuat cerpenku. Akibatnya, sebagian tulisan yang ada di situ menjadi kabur.
Awalnya aku melihat kertas koran yang berada dalam bingkai itu basah di bagian bawah, kemudian lambat lain menjalar ke atas. Aku menyangka itu karena temboknya basah sehingga airnya merembes ke bingkai yang berjumlah tiga buah. Namun beberapa bulan kemudian, aku melihatnya semakin pudar.
Aku mengambil semua bingkai yang terpajang di dinding kamarku. Aku bermaksud membersihkannya agar cerpen-cerpen karyaku yang termuat di koran tidak rusak. Aku semakin panik karena bingkai yang berbahan kayu menjadi rapuh karena ikut ditumbuhi lumut. Aku harus memperbaikinya. Mengambil paku dan palu. Memaku bingkai-bingkai yang rapuh. Membersihkan lumut-lumut yang menempel. Mengganti kertas karton yang rusak dengan yang baru.
Istriku membantuku memasang kembali bingkai yang sudah kuperbaiki dan kubersihkan.
“Jangan ditaruh di sini lagi, Mas. Nanti ditumbuhi lumut lagi!”
“Baiknya di pasang di mana ya? di ruang tamu pantas atau tidak? Atau di dapur saja ya?”
“Di mana-mana pantas saja, Mas.”
“Tapi dipasang di kamarku lagi saja. Pada tembok kamar di sisi yang lain.”
Aku mengambil paku dan memukulnya dengan palu di bagian tembok kamarku. Satu, dua tiga pigura terpajang. Aku tersenyum puas. Memandangi cerpen-cerpen karyaku yang terpajang di dinding kamar. Meski ada bagian yang kurang jelas, tapi secara umum masih terlihat bagus.
“Itu kopinya diminum dulu. Nanti dingin, Mas!”
“Oh ya, lupa.” Aku mengambil segelas kopi yang sejak tadi mengepulkan asap di meja dapur. Aku kembali ke kamarku memandangi cerpen-cerpen karyaku sambil menyeruput kopi buatan istriku. Nikmat sekali rasanya.
***
Beberapa bulan kemudian, aku kembali panik. Bingkai-bingkai yang kini berjumlah delapan buah, semuanya ditumbuhi lumut. Kini seluruh permukaan kertas koran ditumbuhi lumut. Seperti menyerang setiap huruf yang membentuk kata, setiap kata yang membentuk kalimat, setiap kalimat yang membentuk paragraf, dan setiap paragraf yang membangun keseluruhan cerpen. Seperti ulat-ulat yang menggerogoti daun-daun. Bingkai itu seperti digunakan untuk lumut-lumut. Permukaan bingkai menjadi seperti lapangan sepak bola yang berwarna hijau. Aku mencoba mengangkat bingkai-bingkai itu satu persatu, dan bruggg…!!!. Setiap bingkai yang kusentuh ambrol. Hancur sudah semua koleksi karya-karyaku.
Aku meraung, memanggil-manggil istriku.
“Ada apa, Mas?”
“Itu lihat sendiri.”
“Wah, kok bisa lumut-lumut itu menyerang lagi ya, Mas? Padahal sudah kita bersihkan beberapa bulan yang lalu.”
Aku terkulai lemas di tepi kasur. Istriku memegangiku, dan memijati pundakku.
“Sudahlah, Mas. Lumut-lumut itu mungkin tidak bersahabat dengan cerpen-cerpen yang Mas buat. Lebih baik disembunyikan saja di dalam map dan disimpan di lemari.”
Meski istriku telah memijat pundakku dan menghiburku agar tidak bersedih, namun aku tetap saja lunglai. Aku menerawang ke beberapa tahun yang lalu.
Aku terobsesi menjadi seorang cerpenis. Aku banyak membaca cerpen-cerpen yang dimuat di koran dan media lainnya. Aku banyak mengirim cerpen, namun tidak satupun cerpenku yang dimuat.
Aku terus saja berlatih menulis cerpen, diselingi membaca cerpen dan tips-tips menulis cerpen. Namun tetap saja kata G A G A L selalu melekat di setiap karya yang kukirim ke koran dan media lainnya.
Aku nyaris putus asa. Hingga secara kebetulan aku menemukan formula menulis cerpen. Aku mengutak-utik cerpen karya orang lain. Aku ganti nama tokohnya. Aku aduk baris-baris kalimatnya, yang atas jadi bawah, yang bawah jadi atas. Aku kurangi dan aku tambahi. Aku senang mengutak-atik cerpen karya orang lain. Dari hasil utak-atik itu, aku coba kirimkan ke koran, dan dimuat. Utak-atik lagi, dimuat lagi. Demikian seterusnya. Cerpen yang dimuat di koran aku bingkai dan kupajang di dinding kamar sampai berjumlah delapan bingkai. Ada yang dimuat di koran lokal, koran regional, sampai koran nasional. Aku sangat puas, dan merasa telah menjadi seorang cerpenis.
“Mas, dipijit kok malah tidur!”
Aku tergeragap dan melihat istriku meninggalkan kamarku dengan sedikit menggerundel.
***
Sejak kejadian itu, aku berjanji dalam hati untuk membuat cerpen dengan formula lain. Siang malam aku mencari formula baru menulis cerpen.
Jerih payahku berbuah hasil. Aku menemukan formula baru lagi menulis cerpen, yakni menulis cerpen bening. Sebening air. Menulis sesuai kemampuan diri. Cerita yang dipunyai berasal dari kejadian sehari-hari, dan ditulis dengan kemampuan sendiri.
Aku kembali memigura cerpen-cerpen baru buatanku. Tiga buah bingkai terpajang di dinding kamarku yang khusus untuk menulis cerpen.
Suatu malam ketika aku sedang tidur di kamar lain, aku mendengar ada suara anak bermain-main bersuka ria dengan kecipak air yang sangat jelas terdengar. Aku bangun, membiarkan istriku tetap tertidur. Aku mencari sumber suara yang aku dengar. Aku menuju sebuah kamar di mana terpajang cerpen-cerpen karyaku.
Aku terperanjat. Aku melihat bingkai-bingkai itu menjadi seperti layar televisi. Ada gambar bergerak, ada suara terdengar sangat jernih. Salah satu bingkai memperlihatkan beberapa anak sedang mandi di tepi sungai pada cerpen “Buaya” karyaku. Dan airnya menyiprat ke tubuhku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar